Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa
MEDIASINERGI.CO — “The medium is the message,” kata Herbert Marshall McLuhan(1964) puluhan tahun lalu, sebuah peringatan yang kini terbukti seperti nubuat.
Dulu, media hanyalah saluran penyampai pesan. Kini, media telah menjadi pencipta realitas itu sendiri.
Dan di tengah perubahan itu, wartawan, sang pengendara kebenaran, kini justru menjadi penumpang yang terseret arus, kehilangan arah, kehilangan suara.
Profesi wartawan yang dulu diagungkan sebagai pilar keempat demokrasi, kini seperti bangunan tua yang nyaris roboh.
Pondasinya digerogoti klik, view, dan rating. Pilar idealismenya digantikan mesin algoritma yang dingin dan tanpa empati.
Dalam lanskap digital hari ini, wartawan bukan lagi gatekeeper informasi, melainkan gatekeeper illusion, penjaga semu dari dunia yang direkayasa teknologi.
*Dari Pena ke Jempol Lahirnya Generasi Wartawan Cepat Saji*
Era keemasan jurnalisme adalah era ketika kebenaran butuh waktu.
Wartawan harus riset, konfirmasi, dan menulis dengan kesadaran etika.
Namun kini, logika media telah digantikan logika pasar, siapa cepat, dia menang.
Kebenaran tak lagi penting, yang penting lebih dulu tayang, lebih banyak dibagikan, lebih banyak iklan masuk.
Wartawan masa kini bekerja bukan di bawah bimbingan redaktur, tapi di bawah tekanan traffic manager.
Kualitas tulisan diukur dari jumlah klik, bukan dari kedalaman analisis.
“Konten” menjadi mantra baru, kata yang netral tapi penuh racun.
Karena di balik kata itu, kebenaran telah diturunkan derajatnya menjadi sekadar materi konsumsi.
McLuhan sudah memperingatkan, ketika medium berubah, isi pesan juga berubah.
Kini, bukan lagi manusia yang menguasai media, tapi media yang membentuk manusia, termasuk wartawan.
Ponsel bukan lagi alat kerja, tapi tuan baru yang memerintahkan manusia menulis demi algoritma.
*Kebenaran yang Tersingkir di Pabrik Konten*
Ruang redaksi yang dulu penuh diskusi kini berubah menjadi pabrik konten.
Di sana, wartawan dipacu layaknya buruh produksi, harus menghasilkan berita setiap jam, tanpa sempat merenung, tanpa sempat berpikir.
Berita bukan lagi laporan, ia adalah produk digital yang harus laku di pasaran.
Neil Postman dalam bukunya Amusing Ourselves to Death menulis:
*_”Kita sedang menuju masyarakat yang mati bukan karena dilarang berpikir, tapi karena terlalu sibuk menghibur diri.”_*
Media massa telah menjadi panggung hiburan kolektif.
Semua hal, dari politik hingga tragedi, diolah menjadi tontonan cepat yang menimbulkan sensasi.
Wartawan pun ikut menari di atas panggung itu, dengan skrip yang ditulis oleh tren, bukan oleh nurani.
Dan di tengah gemuruh dunia digital, wartawan idealis yang masih menulis dengan hati seringkali tampak seperti relik sejarah.
Mereka dicemooh sebagai kuno, lambat, dan “tidak adaptif”.
Padahal justru merekalah satu-satunya yang masih sadar bahwa berita bukan sekadar informasi, tapi tanggung jawab moral.
*Ketika Berita Tak Lagi Realitas*
Jean Baudrillard menyebut dunia modern sebagai simulacra (realitas palsu) yang meniru kenyataan, hingga batas antara fakta dan ilusi lenyap.
Dan di situlah wartawan hari ini terjebak, menulis berita yang tampak nyata, tapi sebenarnya hanyalah bayangan dari bayangan.
Sebuah unggahan di media sosial bisa menjadi sumber berita nasional.
Kebohongan bisa jadi kebenaran, asal cukup banyak yang membagikannya.
Fakta dan opini kini berbaur seperti kopi instan, cepat, manis, tapi tak bergizi.