Laporan: H. Manaf Rachman
MEDIASINERGI.CO MAKASSAR — Kebebasan pers untuk berekspresi dan berpendapat merupakan hak pers yang paling mendasar untuk mengungkap sebuah kebenaran yang disembunyikan, yang diatur dengan etika dan undang-undang pers. Karena itulah, pers dalam bekerja menjalankan tugasnya tidak boleh diitervensi oleh siapapun juga termasuk penguasa.
Demikian diungkapkan oleh Ketua Dewan Pers, Dr. Ninik Rahayu ketika menyampaikan materi dengan judul Mengenal Etika Jurnalistik dan Penguatan Perlindungan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di lingkungan Perguruan Tinggi, yang dihadiri civitas akademik dan para jurnalis kampus dari beberapa Fakultas di Universitas Hasanuddin Makassar, Jumat (17/1/2005) di Makassar.
Dikatakan, karena Pers itu bekerja dengan dibatasi oleh etik, maka kesalahan yang dilakukan oleh pers tidak bisa dihukum dengan aturan undang undang secara umum, tapi harus diselesaikan dengan etika pula.
Karena dampak berita dari Pers itu mempengaruhi daya pengaruh besar terhadap etika, bukan daya hukum, seperti kesalahan lainnya yang diancam dengan KUHP.
Diakui, pelanggaran pekerja pers itu kebanyakan orang selalu kasusnya dibawah kepada ranah hukum yang dijerat dengan UU ITE atau KUHP. Tapi sebenarnya kasus pers itu harus diselesaikan dengan melibatkan Dewan Pers, sehingga Dewan Perslah yang nantinya mempertimbangkan kesalahan yang dilakukan oleh pers, apakah termasuk pelanggaran etika atau bukan.
Karena ada kecenderungan setiap kesalahan pers itu selalu dibawa ke upaya hukum yang represif, padahal sudah ada aturannya yang jelas bahwa ada tahapan yang harus dilalui pers jika membuat kesalahan, misalnya dengan memberikan hak koreksi dan hak jawab.
Melihat rawannya tugas pers yang selalu dibawa kepada UU ITE dan KUHP, maka Dewan Pers beberapa tahun lalu sudah berkomunikasi dengan Menkopolhukam, Prof Mahfud MD untuk meminta dua pasal yang ada pada UU ITE maupun draft KUHP sebelum disahkan tahun 2022 lalu dilakukan revisi, karena dua pasal tersebut bisa menjerat sanksi berat kepada pekerja pers.
Ninik juga mengungkapkan, pada pembahasan draft revisi RUU Penyiaran di DPR, Dewan Perslah yang juga menolak revisi tersebut, karena rawan dalam menjalankan tugas pers ketika melakukan investigasi terhadap masalah penting yang mesti dibongkar agar masyarakat tahu informasi yang disembunyikan.
Ketua Dewan Pers juga mewanti-wanti para pekerja pers agar berhati-hati dalam menggunakan teknologi AI, yang bisa menimbulkan dampak yang besar di masyarakat.
“Pers yang baik itu harus selalu melakukan verifikasi, cek faktual, data dan tidak menggunakan teknologi AI,” ujar DR.Ninik.
Tugas pers itu beda-beda tipis dengan tugas seorang humas.
Jika humas bekerja untuk mendapat pencitraan atasan atau lembaga melalui penyebaran informasi, maka pers itu bekerja untuk kepentingan umum untuk memberikan informasi yang benar yang dibutuhkan masyarakat.