“Sukunya sama dengan kamu, asal tahu saja,”kata si wanita.
“Oh ya. Kirim salam ya sama beliau,” kata si lelaki. “Salam hormat. Mestinya dia bahagia dapat istri secantik kamu.”
“Gombali. Ditungguin malah nggak ada kabar.”
Perpisahan dari pertemuan itu terasa manis sekaligus pahit bagi si lelaki. Rasa penasarannya terpenuhi, dia bisa memandang lagi orang yang dulu pernah dia sukai. Bisa menyapa. Tetapi pahit karena berakhir dengan tanda tanya besar, yang dia tidak pernah tahu, bagaimana sebenarnya perjalanan hidup si perempuan sampai dia melontarkan beberapa hal yang menohok.
Si lelaki pernah mengajaknya bertemu kembali, tetapi si perempuan mengatakan tidak ada perlunya lagi. Lebih baik semua kenangan indah dilupakan saja daripada rasa kecewanya semakin besar.
“Kamu memang egois, tidak pernah mengerti,” kata si perempuan saat menelpon dia beberapa hari setelah menolak bertemu.
“Egois bagaimana ?”
“Saya tidak menikah bertahun-tahun karena menunggumu. Menunggu siapa tahu kamu menemuiku, kita berbaikan kembali, dan naik ke pelaminan,” ujarnya dengan sesenggukan di ujung telpon.
“Aku telpon kamu nggak mengangkat kan? Kenapa ? Saya kan masih pacarmu, kita tidak pernah putus walau kamu tidak datang di acara ulang tahunku.”
“Lho aku pikir kamu sudah punya pacar lagi. Kan banyak yang menyukaimu. Mengajak makan, ditraktir.”
“Aku kan bilang itu teman biasa. Semua teman bagiku. Hanya kamu yang aku cintai. Apa kamu pernah bertanya sikapku terhadap mereka.? Tidak. Saya menelpon saja kamu tidak angkat.”
Si lelaki menjadi terkesima. Memang sejak memutuskan secara sepihak itu, dia terlanjur memutus komunikasi. Bahkan bertahun-tahun kemudian, setelah dia bekerja dan menikah, telponnya tidak dia terima karena khawatir mengganggu rumah tangga barunya. Ah seandainya..
“Kamu tahu. Aku berkali-kali pergi menari ke luar negeri bersama rombongan. Ada yang melamarku, mengajak kawin. Bahkan ada orang bule. Sebenarnya aku juga pingin, tetapi karena masih mencintaimu, semua aku abaikan,” katanya.
“Terus kapan kamu menikah?”
“Anakku ini baru masuk SMP, anak kamu sudah kuliah kan? Aku lihat di Facebook kamu. Setelah tahu kamu menikah, baru aku akhirnya mau menikah,” katanya.
Si lelaki tidak bisa berkata-kata. Rasa bersalah menerpa jantungnya. Memang betul semua yang dikatakan si perempuan, yang dia lihat juga di Facebook-nya. Mengapa aku begitu bodoh? Setidaknya, dia tidak boleh memutus silaturahmi hanya karena syakwasangka.
Mestinya dia klarifikasi. Tapi nasi sudah menjadi bubur.
“Aku minta maaf. Sungguh minta maaf.” Kata si lelaki, berusaha tabah.
“Sudah lama aku maafkan, karena sampai kapanpun aku akan mencintaimu,” katanya lagi, yang seperti menuangkan cairan cuka di luka hati si lelaki.
***
Si lelaki menulis ucapan duka cita bagi seniornya yang wafat tadi pagi. Ketika mampir menulis berita di kantor perwakilan di kota S, saat cerita-cerita, dia bilang dulu pernah punya pacar seorang penari.
Dia kuliah di sekolah tinggi di kota S dan dulu pernah satu kampus di Jakarta. Lalu menyebut namanya.
“Oh. Saya kenal anak itu. Dia ngetop lho di sini,”katanya sambil tersenyum.
“Kenapa, Mas.”
“Lha ini kan kota kecil.
Dia penari yang baik dan banyak tampil. Cantik lagi,” kata seniornya yang kini berpulang itu. “Rugi lho kamu putus.”
“Susah, Mas, cinta jarak jauh. Repot menjaganya. Apalagi orang cantik,” katanya menghibur diri.
Di tahun 1980-an, belum ada handphone, belum ada Facebook, sejatinya memang tidak mudah memelihara hubungan. Meski sebenarnya mereka sudah duluan memutus hubungan sebelum keduanya terpisah oleh jarak.
Apa kabar Widya?
Ciputat, 29 Januari 2022.