MEDIASINERGI.CO JAKARTA — Torehan kebijakan Presiden ke-3 RI, BJ Habibie dalam demokrasi dan kebebasan pers begitu luar biasa. Saat menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, Habibie membebaskan tahanan politik sampai memulihkan kebebasan pers.
“Kita waktu itu, 1998, sedang seru-serunya tuntutan reformasi, karena kita mengalami krisis multidimensional. Beliau (Habibie, Red) memutuskan untuk membebaskan seluruh tahanan politik. Lalu, bebas mendirikan partai politik, dan mempercepat pemilu,” kata mantan Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Permukiman pada masa pemerintahan Habibie, Theo L Sambuaga di Jakarta, Rabu (11/8) seperti yang dilansir Beritasatu.com.
Theo menuturkan, saat itu pemilu baru dilaksanakan pada 1997. Semestinya, pesta demokrasi baru digelar lima tahun setelahnya atau pada 2002. Meski begitu, menurut Theo, Habibie mengambil keputusan untuk mempercepat pelaksanaan pemilu pada pertengahan 1999.
“Pemilu akhirnya dilaksanakan secara bebas dan demokratis. Dibuat Komite Pemilihan Umum Indonesia. Pada era Habibie juga kebebasan pers dipulihkan. Tidak perlu lagi ada izin-izin perusahaan pers. Inilah yang melandasi jalannya pemerintahn beliau,” ujar Theo.
Politisi senior Partai Golkar itu mengungkap, laporan pertanggungjawaban Habibie ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 1999. Menurut Theo, Partai Golkar masih ingin mencalonkan Habibie sebagai presiden, namun dia menolak untuk dicalonkan.
“Ada hal yang mengesankan bagi saya. Golkar masih ingin tetap calonkan beliau, tetapi beliau menolak. Beliau bilang, ‘saya sebagai orang demokrat, pertanggungjawaban saya ditolak, sehingga tidak etis saya dicalonkan’. Kalau dicalonkan, masih mungkin beliau menang, karena bergantung pada konstelasi, tetapi beliau menolak,” ungkap Theo.