Oleh Hendry CH Bangun
MEDIASINERGI.CO JAKARTA — Pekan lalu saya diminta untuk cuap-cuap di acara rapat kerja nasional sebuah grup media siber di Jakarta. Memberi semacam pembekalan mengenai Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber bagi sekitar 100-an wartawan media yang datang dari berbagai daerah di Tanah Air. Ruang berukuran sekitar 8 x 40 meter itu terasa penuh.
Rapat yang berlangsung selama dua hari ini tidak hanya tentang konten berita. Tetapi juga dibuat untuk personel redaksi yang menangani grafis, pengembangan content creator, orang marketing dan distribusi digital dan seterusnya. Mereka ada di ruang terpisah. Pokoknya rapat kerja ini berisi paket komplet pelatihan semua lini media online.
Terus terang saya agak terkejut dan kagum pada bos media tersebut, yang berani keluar uang banyak untuk menge-charge personalia medianya, meningkatkan kapasitas dan komptensi mereka, di zaman yang serba susah ini.
Prinsip menjadikan SDM sebagai kekayaan utama perusahaan, memang kredo yang semua orang sudah tahu. Tetapi dalam kondisi saat ini, hanya sedikit perusahaan pers yang berani melakukannya. Yang ada adalah pemotongan gaji, menghilangkan fasilitas, pengurangan tenaga lewat program pensiun dini, bahkan PHK. Sungguh melegakan masih ada yang mendidik wartawannya untuk menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas, berita yang di era ideal disebut sebagai karya intelektual.
Mempertahankan good journalism seperti tugas yang sulit berhasil, seperti mitos Sisifus, yang selalu terpukul mundur ketika bergerak naik sedikit. Hantaman dari agresifnya news aggregator mengambil iklan media massa, semakin mendalamnya intervensi media sosial ke ruang informasi publik, merupakan pukulan ganda yang membuat media konvensional tidak hanya terhuyung-huyung, tapi rubuh terjerembab. Bahkan mati, khususnya media cetak yang seperti tidak kompatibel dengan perkembangan zaman.
Mungkin kita kini telah menjadi Sisifus itu sendiri. Kita tidak pernah putus asa meskipun sadar bahwa perjuangan yang dihadapi untuk menciptakan jurnalisme berkualitas takkan pernah selesai. Bedanya mitos dengan dunia nyata adalah kerja keras beberapa media menunjukkan ada peluang keberhasilan, tidak sekadar bertahan, tetapi maju setapak demi setapak.
Hanya sedikit media yang berada dalam kuadran ideal, mempertahankan jurnalisme baik dan perusahaan tetap untung, bisa dihitung jari.
Ada yang setia pada etos jurnalisme tetapi hidup pas-pasan atau cenderung bertahan hidup. Ada yang menyisihkan idealisme dan mengutamakan pendapatan agar neraca perusahaan baik, dan kuadran yang satunya adalah mengedepankan keuntungan tanpa peduli pada kode etik dan kaidah-kaidah jurnalisme.
Riuh rendahnya pertumbuhan media siber, cenderung masuk ke dalam kuadran keempat di atas. Sebagian besar media didirikan pertama dan terutama dari keinginan untuk mencari pendapatan, meraih untung, minimal ikut menikmati anggaran publikasi dan pencitraan yang ada di APBD provinsi atau kabupaten kota.
Kalau hanya menjadi wartawan, uang yang berseliweran di depan mata, tidak bisa didapat. Tetapi kalau mendirikan media, peluang dapat uang ada. Sekaligus mengubah kedudukan atau status dari semula hanya karyawan digaji, menjadi pemilik media alias pengusaha.
Salah satu indikator dari motif ini adalah gencarnya upaya pemilik media untuk menjadikan medianya berstatus terverifikasi (minimal terverifikasi administrasi) dari Dewan Pers, karena di banyak provinsi dan kabupaten-kota, itu merupakan syarat diikutkan dalam kemitraan publikasi dan pencitraan pimpinan dan pemerintahan daerah.
“Syarat sudah kami lengkapi semua. Kapan media kami terverifikasi Bang?. Ini syarat supaya kami bisa dapat adeve,” kerap tertulis pesan WA di ponsel saya. Apa itu adeve? Advetorial, yang di bawah berita sering ditulis ADV.
“Sabar. Kalau sudah lengkap pasti akan terverifikasi,” saya jawab. Tapi dua tiga pekan kemudian, muncul lagi pesan serupa.
Mendesak sekali tampaknya status itu, apalagi kalau menjelang batas waktu pengajuan anggaran. Padahal setiap minggu ada belasan bahkan puluhan pengelola media membuat akun di Pendataan Dewan Pers, dan memasukkan berkas-berkas yang disyaratkan. Memeriksa satu persatu dokumen yang dikirim perlu waktu, sementara jumlah petugasnya juga terbatas. Perlu kesabaran.
Apalagi konten setiap media ini pun harus diperiksa, karena tidak sedikit media yang beritanya sebagian besar berisi press release, atau tidak ada keterangan dan credit title foto. Apabila wartawan dan editornya kompeten, tentu berita akan diolah sesuai kaidah jurnalistik walaupun bahannya dari rilis berita. Mereka juga akan tahu soal hak cipta, maka siapa yang memotret akan dituliskan mendampingi foto.