Home / Artikel

Jumat, 9 September 2022 - 16:22 WIB

Soal Berita Sepihak

Hendry Ch Bangun

Hendry Ch Bangun

Oleh Hendry Ch Bangun

MEDIASINERGI.CO. CIPUTAT — Seorang wartawan dari daerah bertanya, “Abang, berita seperti ini melanggar kode etik nggak?” sambil melampirkan scan berita yang dia maksud di layar ponsel. Saya perhatikan dan memberikan jawaban, “Berita itu tidak konfirmasi dan cenderung merugikan satu pihak, jadi jelas melanggar kode etik.”

Saya malah melanjutkan,”Berita ini sepihak. Dapatnya dari mana? Rilis?”

“Iya, Bang. Ini ada LSM yang mengkritisi proyek jalan yang tidak sesuai spek.”

Kenapa tidak dikonfirmasi ke kontraktornya atau ke Dinas Pekerjaan Umum kabupaten?”

“Apa mesti begitu, Bang?”

Wartawan yang sudah mendapat pelatihan di kantornya atau di organisasinya atau sudah mengikuti uji kompetensi mungkin heran, kok ada sih wartawan seperti itu. Faktanya ada dan tidak sedikit yang tidak faham kode etik jurnalistik dan kaidah jurnalistik. Dan tugas kita – apabila ditanya, setidaknya – memberikan penjelasan bagaimana sebaiknya bekerja kalau ingin menjadi wartawan, khususnya agar berita tidak melanggar kode etik serta terhindar dari persoalan di kemudian hari.
Pada masanya wartawan adalah profesi para elit, orang yang terpanggil jiwanya untuk menyuarakan aspirasi publik, orang yang secara khusus belajar jurnalistik di perguruan tinggi, atau aktivis yang menganggap gerakannya hanya akan efektif kalau dibarengi dengan menguasai pendapat umum. Wartawan adalah orang yang disegani dan diajak diskusi pemegang kekuasaan, orang yang dapat memengaruhi kebijakan, atau yang mendapat privilege dari masyarakat, pemerintah, dan swasta karena nama besarnya. Mereka duduk anggun di panggung nasional, dihormati, dihargai, dan dinilai sebagai asset bangsa. Zamannya membuat mereka meskipun tidak berpendidikan tinggi adalah otodidak yang menambah ilmu tanpa diminta karena kesadaran bahwa semakin banyak pengetahuan makin mudah bagi mereka untuk menjalankan profesinya.

Baca Juga:  Tidak Selalu Hitam Putih

Tetapi sekarang apabila kita pergi ke daerah-daerah bertemu dengan mereka yang menyebut dirinya wartawan, sering kita menemukan mereka yang dalam hal mendasar saja belum dapat memenuhinya. Saya pernah menulis bagaimana dalam sebuah uji kompetensi, di mata uji menulis berita, waktu 50 menit yang diberikan tidak cukup bagi seorang peserta untuk menulis 4-5 alinea berita. Tidak pula faham apa itu 5 W 1 H. Tidak mampu membuat kepala / teras berita yang menarik ataupun mencakup inti dari berita. Saya juga pernah menulis bagaimana seorang pemimpin redaksi komplain anak buahnya yang beritanya hampir selalu harus dikoreksi tetapi dia dipertahankan, karena koneksinya dengan pejabat daerah membuat dia mampu mendatangkan iklan.

Bagi wartawan profesional jelas perbedaan antara informasi dan berita. Yang satu adalah bahan, yang perlu diperkaya, ditambah data atau keterangan, yang perlu dikroscek dan dikonfirmasi kebenarannya, yang belum layak disiarkan. Sedangkan berita adalah informasi yang sudah lengkap, dipastikan kebenaran peristiwanya, berimbang, dan layak dikonsumsi publik.

Baca Juga:  Selayang Pandang Peringatan HALUN 2022 dan Lahirnya Organisasi LLI

Sebagian besar pengaduan ke Dewan Pers adalah berita yang tidak atau belum dikroscek, tidak berimbang, atau beropini menghakimi. Di satu sisi ini menunjukkan tingkat pemahaman penulis berita – yang kerap sekaligus menjadi editor – yang belum mumpuni. Tetap sebagaimana pernah disampaikan Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers, Arif Zulkifli, sengaja dilakukan demi klikbait, mendapatkan perhatian dari pembaca, dan ketika dikomplain, dia akan mengajukan permohonan maaf, membuat ralat, lalu melakukan kesalahan serupa di waktu berikutnya. Maklum ini zaman digital, era media siber, dimana sukses tidaknya sebuah berita diukur dari berapa banyak orang yang mengklik, bukan dari seberapa berkualitas kontennya. Jadi berita sensasional, membuat orang ingin masuk setelah membaca judul, amatlah penting.

*

Bila diasumsikan jumlah wartawan di Indonesia sekitar 100.000 dan baru sekitar 20.000 yang telah mengikuti uji kompetensi dan bersertifikat, maka selisih 80.000 itu sebagian besarnya adalah wartawan yang perlu diberi pelatihan.

Undang-undang Pers No 40/1999 tidak membatasi orang yang ingin menjadi wartawan, siapa pun bisa. Berbeda dengan banyak negara yang misalnya mensyaratkan ijazah sarjana (jurnalistik, komunikasi, atau apa saja), di sini tidak ada batas paling rendah untuk pendidikan. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pernah membuat syarat minimal lulusan D3 dan setelah beberapa tahun mestinya sarjana, untuk dapat menjadi anggota, tetapi lalu diganti menjadi bersertifikat kompetensi.

Share :

Baca Juga

Artikel

Wartawan dan Moralitas

Artikel

Kiat Menulis: Bertutur tentang Sosok di Media Massa

Artikel

Matilah Kau UU Pers…

Artikel

Profesi Kita dan Ghibah

Artikel

Kontroversi Tunjangan Wartawan Bersertifikat

Artikel

Setelah Kompeten, Apa?

Artikel

Dunia Jurnalistik Memang Perlu Dibenahi

Artikel

Tragedi Kanjuruhan dan Awal Kompetisi Sepakbola Indonesia