Kamis malam itu ada brifing yang dipimpin senior-senior Mapala (alumni FT Unhas) diantaranya bernama Ilham, Bombom dan Teten yang melakukan evaluasi seputar kegiatan diksar itu dan juga membahas kondisi Virendy. Dalam brifing yang turut dihadiri kedua terdakwa, sesungguhnya Korpes (Koordinator Peserta) dan Korlap (Koordinator Lapangan) sudah menyarankan memulangkan Virendy.
Namun karena adanya peran dan keterlibatan senior yang menyatakan nanti dilihat besok bagaimana kondisi korban, sehingga tidak ada tindakan kedua terdakwa untuk menghentikan dan memulangkan Virendy. Keberadaan senior-senior yang mendominasi kegiatan diksar itu dan bahkan memberikan set (hukuman) kepada peserta, hal ini menunjukkan jika kedua terdakwa tidak mampu mengontrol tindak tanduk para seniornya.
Ketika Virendy sudah tumbang pada Kamis malam dan telah beristirahat malam hari di camp peserta, dinihari sekitar pukul 01.00 Wita seorang senior bernama Ilham memerintahkan membangunkan korban dan segera datang ke camp senior. Saat menghadap itulah senior mengambil alih dengan memberikan set (hukuman) sampai subuh pukul 04.00 Wita. Kemudian esok harinya, Jumat pagi pukul 08.00 Wita dibangunkan dan diberikan makanan, tetapi Virendy memuntahkannya, hanya air yang diminumnya.
Pagi itu perjalanan diksar kembali dilanjutkan hingga istirahat saat tiba waktunya sholat Jumat. Selesai sholat Jumat, perjalanan pun dilanjutkan. Namun akhirnya Virendy tumbang dan penanganannya diambil alih oleh senior. Bahkan seorang senior telah memerintahkan baju peserta yang dikenakan Virendy dibuka/dilepas dan menyatakan bahwa korban sudah bukan lagi peserta.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim berkeyakinan tidak adanya SOP (Standar Operasional Prosedur) yang jelas menyangkut keterlibatan dan peran senior, sehingga mereka bebas melakukan apa saja termasuk memberikan pendapat dan hukuman kepada peserta. Organisasi yang sehat adalah organisasi yang memiliki SOP yang jelas. Peran dari senior-senior yang tidak terkontrol dan kurang hati-hatinya terdakwa telah menyebabkan Virendy meninggal dunia.
“Tidak adanya kehati-hatian terdakwa dalam melaksanakan diksar ini sudah tampak mulai dari pemeriksaan kesehatan sampai kegiatan berlangsung. Putusan hukuman yang dijatuhkan majelis hakim bertujuan agar peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi di tengah masyarakat. Ini juga menjadi pembelajaran bagi organisasi Mapala, institusi perguruan tinggi, dan masyarakat umum,” tegas hakim Firdaus Zainal, SH, MH.
Terhadap putusan majelis hakim PN Maros yang mengadili perkara terbunuhnya cucu mantan Guru Besar Unhas yakni almarhum Prof. Dr. O.J. Wehantouw, MS ini, kedua terdakwa bersama penasehat hukumnya Muhammad Ilham Prawira, SH maupun jaksa penuntut umum Sofianto Dhio, SH menyatakan pikir-pikir dahulu sebelum menentukan sikap apakah menerima putusan tersebut atau akan melakukan upaya banding.
Sidang pembacaan putusan di ruang Cakra Gedung PN Maros yang tampak ramai dihadiri puluhan pengunjung, diantaranya beberapa wartawan media, mahasiswa Unhas, anggota UKM Mapala 09 FT Unhas, keluarga terdakwa, dan juga sejumlah keluarga serta kerabat almarhum Virendy ini, berlangsung lancar, tertib dan aman. (tim)